Aturan ODOL 2026: Perlindungan untuk Siapa?
- account_circle Sayida
- calendar_month Sab, 21 Jun 2025

menalar.id,. – Djoko Setijowarno, pakar transportasi, menganalisis penyebab ribuan sopir truk dari berbagai daerah berunjuk rasa pada Kamis (19/6/2025). Massa menuntut pencabutan aturan Over Dimension Over Loading (ODOL) dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Djoko mengakui pentingnya regulasi batas ukuran dan muatan angkutan barang. Namun, ia memperingatkan bahwa penerapan aturan ODOL pada 2026 justru akan merugikan sopir truk. Menurutnya, jika terjadi pelanggaran, aparat akan menindak sopir, sementara pemilik barang atau kendaraan terlepas dari jerat hukum.
“Penegakan hukum boleh dilakukan, tapi harus jadi langkah terakhir. Perbaikan harus dimulai dari hulu ke hilir. Revisi UU ini perlu, tapi jangan sampai sopir jadi korban. Tidak semua sopir bersalah,” tegas Djoko dilansir Tirto, Sabtu (21/6/2025).
Ia mengaku kerap mendorong pemerintah merevisi aturan ODOL, tetapi menegaskan bahwa sopir tidak seharusnya menanggung beban kesalahan sendirian. Revisi aturan, menurutnya, harus memprioritaskan keselamatan sopir yang sehari-hari mengangkut muatan berat.
“Kami sudah sering mengusulkan revisi pasal-pasal terkait keselamatan, bukan hal lain,” tambahnya.
Selain persoalan regulasi, Djoko menyoroti upah sopir truk yang sangat rendah. Data Badan Kebijakan Transportasi Kemenhub menunjukkan rata-rata gaji sopir di Indonesia hanya Rp1,4 juta per bulan, jauh di bawah Thailand yang mencapai Rp25 juta per bulan. Kondisi ini, menurutnya, mendorong sopir mengambil risiko dengan membawa muatan berlebih untuk menambah penghasilan.
“Dengan upah segitu, wajar jika sopir berpikir untuk membawa muatan lebih banyak saat pulang agar dapat untung besar,” ujarnya.
Ia mendesak pemerintah memperhatikan kesejahteraan sopir, sebagaimana pekerja lainnya.
“Jangan diskriminatif. Sopir ojol dapat bantuan sembako langsung dari presiden, sementara sopir truk yang mengangkut kebutuhan pokok justru diabaikan,” kritik Djoko.
Perbedaan OD dan OL dalam Penegakan Hukum
Deddy Herlambang, Peneliti Senior INSTRAN, menjelaskan bahwa Over Dimension (OD) dan Over Loading (OL) memiliki dasar hukum berbeda. OD, terkait kelebihan ukuran kendaraan, termasuk pelanggaran pidana berdasarkan UU LLAJ Pasal 277 dan penindakannya menjadi kewenangan polisi.
“OD melanggar ketentuan Surat STRUT dari Kemenhub dan bisa berujung pidana,” jelas Deddy.
Sementara OL (kelebihan muatan) hanya dikenai denda perdata sesuai Perda setempat. Besaran denda ditetapkan Pemda dan diawasi BPK setelah truk melewati jembatan timbang di UPPKB.
“Penyidikan OL dilakukan PPNS karena termasuk pelanggaran muatan kendaraan,”tambahnya.
Deddy mendesak pemerintah segera menindaklanjuti kebijakan pemberantasan ODOL yang tertunda sejak 2016. Ia menyarankan pembentukan Satgas, penerbitan Perpres, hingga evaluasi pejabat terkait yang dinilai lamban menangani persoalan ini.
“Pengawasan truk ODOL masih lemah. Jembatan timbang perlu diaktifkan secara ketat karena saat ini truk tidak diwajibkan menimbang muatan,” pungkasnya.
Penulis Sayida
Memimpin tim redaksi dengan fokus pada pemberitaan akurat, mendalam, dan memancing nalar pembaca. Fokus di rubrik nasional, ekonomi, dan hukum