Pigai Sebut Keracunan MBG Bukan Pelanggaran HAM, Pemerintah Dinilai Lalai
- account_circle Sayida
- calendar_month Kam, 2 Okt 2025

menalar.id., – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menegaskan bahwa kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Ia menilai ribuan siswa yang mengalami keracunan tidak memenuhi unsur pelanggaran hak asasi, karena negara tidak lalai maupun sengaja membiarkan peristiwa itu terjadi.
Pigai memberi contoh sederhana untuk menjelaskan pandangannya. Ia menjelaskan bahwa makanan yang dibuat oleh satu sekolah yang kurang terampil tidak dapat menjadi pelanggaran HAM.
“Misalnya satu sekolah yang masaknya kurang terampil, (sehingga basi) makanannya itu kan tidak bisa dijadikan sebagai pelanggaran HAM kan,” ujarnya di kantor Kementerian HAM, Jakarta, Rabu, (1/9/2025). Ia menekankan bahwa situasi tersebut berbeda dengan kondisi di mana negara secara sengaja membiarkan keracunan terjadi.
Menurut Pigai, masalah yang muncul dalam pelaksanaan MBG lebih disebabkan oleh manajemen dan administrasi yang dikelola satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG). Kedua aspek ini, jelasnya, tidak terkait langsung dengan hak asasi yang melekat pada setiap individu.
“Administrasi dan pengaturan itu tidak bisa dipidana,” kata Pigai. Ia menambahkan, pertanggungjawaban atas kesalahan manajemen seharusnya berupa perbaikan, bukan kriminalisasi.
Dalam penjelasannya, Pigai juga menekankan bahwa kasus keracunan akibat MBG hanya merupakan temuan kecil yang tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan atau kegagalan program. Dari total 30 juta penerima manfaat MBG hingga September 2025, ia menyebut persentase kasus keracunan hanya 0,00017 persen.
Sebab itu, ia tetap menyimpulkan bahwa program MBG berhasil dijalankan. Menurutnya, kasus keracunan lebih tepat disebut sebagai kesalahan prosedur.
“Bisa saja karena human error kan, kesalahan masak, mungkin makanannya penyimpanannya kurang maksimal,” ujarnya. Dalam konferensi pers itu, Pigai bahkan memilih istilah “penyimpangan” atau “deviasi” alih-alih menyebut langsung kata keracunan.
Namun, pandangan berbeda datang dari kalangan masyarakat sipil. Program MBG belakangan menjadi sorotan karena jumlah kasus keracunan yang terus meningkat. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat setidaknya 8.000 orang mengalami keracunan makanan MBG. Kasus terbaru dan terbesar terjadi di Kabupaten Bandung Barat dengan korban sebanyak 1.309 orang.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono, menilai insiden tersebut justru memperlihatkan kegagalan negara menjamin hak dasar masyarakat atas pangan yang sehat dan aman.
“Peristiwa keracunan akibat MBG di Bandung Barat ini bukan yang pertama, melainkan rangkaian panjang dari ribuan kasus serupa di berbagai daerah. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, maka jelas ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” kata Heri dalam keterangan tertulis, Sabtu, (27/9/2025).
LBH Bandung menegaskan bahwa negara lalai melakukan mitigasi, meski regulasi sudah mengikat. Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 mewajibkan pemerintah pusat dan daerah menjaga agar bahan makanan memenuhi standar gizi dan keamanan. Demikian pula Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang menekankan kewajiban pemerintah memastikan standar keamanan pangan dalam program bantuan.
Dengan demikian, perdebatan mengenai kasus keracunan MBG tidak hanya menyoal teknis penyelenggaraan, melainkan juga menyangkut tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas pangan yang layak.
Penulis Sayida
Memimpin tim redaksi dengan fokus pada pemberitaan akurat, mendalam, dan memancing nalar pembaca. Fokus di rubrik nasional, ekonomi, dan hukum
