Komnas HAM Kritik Wacana Restorative Justice untuk Kasus HAM Berat
- account_circle Nisrina
- calendar_month Sen, 22 Sep 2025

menalar.id – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan bahwa kasus pelanggaran HAM berat tidak boleh diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice. Hal ini disampaikan Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (22/9/2025).
“Restorative justice tidak boleh digunakan untuk kasus pelanggaran HAM berat karena ini akan berisiko melahirkan adanya impunitas,” ujar Anis.
Keadilan restoratif sendiri adalah penyelesaian perkara pidana dengan mediasi antara pelaku maupun keluarganya dengan korban atau keluarganya. Dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), beberapa tindak pidana yang dikecualikan dari mekanisme ini antara lain terorisme, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, tindak pidana dengan ancaman di atas lima tahun penjara, serta kekerasan seksual.
Perlu Dicantumkan Jelas di KUHAP
Anis menekankan, revisi KUHAP perlu mempertegas larangan restorative justice untuk kasus pelanggaran HAM berat. Menurutnya, hal ini bisa dicantumkan langsung dalam pasal maupun ayat di RUU KUHAP.
“Karena terkait dengan pelanggaran HAM berat itu kan sama sekali tidak mengenal restorative justice, untuk memastikan tidak ada impunitas,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan adanya potensi penyalahgunaan mekanisme restorative justice. Mekanisme ini bisa saja dijadikan jalan pintas dalam kasus yang melibatkan korporasi, misalnya sengketa agraria antara perusahaan dengan warga.
Selain itu, Anis menilai aturan teknis pelaksanaan restorative justice juga belum jelas. Ia menegaskan perlu ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur lebih detail soal mekanisme ini agar tidak disalahgunakan di lapangan.
Menurut DPR
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Sudirta, menilai restorative justice bisa diterapkan selama ada aturan dan pengawasan yang jelas.
“Bagus untuk mengurangi beban penjara, tapi harus terukur dan tidak bisa dipakai sembarangan. Harus ada aturan, aparat, dan budaya hukum yang mendukung,” ujar Wayan, dikutip dari Gesuri.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR lainnya, Bob Hasan, menekankan bahwa pembahasan RUU KUHAP perlu dipercepat dan mekanisme restorative justice harus mengikuti semangat KUHP yang baru.
“RUU KUHAP ini penting untuk segera dibahas agar ketika KUHP baru berlaku pada 2026, sistem hukum acara pidananya juga sudah siap,” kata Bob Hasan
Masukan dari Pengadilan
Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Amin Sutikno, juga memberi catatan dalam pembahasan ini. Menurutnya, pengaturan restorative justice dalam RUU KUHAP masih terlalu sempit karena hanya menekankan syarat adanya korban langsung dan kesepakatan antara korban dengan pelaku.
“Padahal ada tindak pidana yang disebut victimless crime, atau pelanggaran umum yang tidak punya korban langsung. Kalau terlalu dibatasi, justru akan mengurangi efektivitas restorative justice,” ujar Amin seperti dikutip dari situs Mahkamah Agung.
Revisi KUHAP Masuk Prolegnas
Revisi KUHAP yang sedang dibahas DPR nantinya akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU ini sudah berlaku lebih dari 40 tahun.
RUU KUHAP sendiri merupakan inisiatif DPR dan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, serta kembali dijadwalkan masuk Prolegnas 2026.
- Penulis: Nisrina
