Aturan Penyadapan di RUU KUHAP Menuai Penolakan
- account_circle Nisrina
- calendar_month Rab, 16 Jul 2025

menalar.id- Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang membahas Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Poin yang menyita perhatian publik adalah soal penyadapan oleh aparat penegak hukum.
Aturan soal penyadapan itu tercantum dalam Pasal 124 dokumen Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RKUHAP versi terbaru yang dikeluarkan pemerintah pada 11 Juli 2025. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyidik bisa melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyadapan ini harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Tapi di ayat selanjutnya, tertulis bahwa dalam kondisi tertentu yang dianggap mendesak, penyidik tetap bisa melakukan penyadapan meskipun belum mengantongi izin dari pengadilan.
Yang ramai diperbincangkan ialah maksud dari “keadaan mendesak” tersebut. Maksudnya adalah “situasi berdasarkan penilaian penyidik”. Artinya, penyidik punya kewenangan untuk menilai sendiri apakah situasinya cukup mendesak, sehingga penyadapan bisa langsung dilakukan.
Kebijakan ini menuai respons dari berbagai pihak. Koalisi masyarakat sipil menyampaikan keberatannya, karena khawatir aturan ini membuka peluang penyalahgunaan wewenang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga ikut menyuarakan keberatannya.
KPK Ikut menyuarakan keberatannya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti aturan soal penyadapan dalam draf Revisi KUHAP yang sedang dibahas pemerintah dan DPR. Dalam draf tersebut, penyadapan hanya boleh dilakukan saat tahap penyidikan dan harus dengan izin pengadilan.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, menyebut aturan itu berbeda dengan yang selama ini diterapkan di lembaganya. “Poin yang kontradiksi atau tidak selaras dengan tugas dan fungsi yang KPK jalankan selama ini,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Senin (14/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa KPK biasa melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan, dan tak perlu izin pengadilan. Tapi, setiap penyadapan selalu dilaporkan ke Dewan Pengawas dan diaudit secara berkala. Menurutnya, cara itu penting untuk memastikan penyadapan dilakukan sesuai kebutuhan dan tidak disalahgunakan.
Menurut Budi, aturan baru justru bisa menghambat kerja lembaganya. Sebab, penyadapan adalah salah satu alat penting bagi penyelidik untuk mendapatkan informasi atau keterangan yang dibutuhkan. Baik untuk mengungkap dugaan tindak pidana, maupun untuk memenuhi syarat minimal dua alat bukti dalam penanganan kasus.
“Dalam proses penyadapan jika hanya diperbolehkan pada saat penyidikan, artinya kita tidak bisa melakukan penyadapan ketika tahap penyelidikan,” ujarnya.
YLBHI juga keberatan
Kritik juga datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Wakil Ketua Riset YLBHI Arif Maulana, menyoroti frasa “keadaan mendesak” dalam pasal penyadapan yang dinilai terlalu longgar.
“Hal ini memberikan ruang yang besar bagi praktik abuse of power (penyalahgunaan wewenang),” berdasarkan keterangan Arif pada 13/7/2025.
Ia juga menyoroti ketentuan yang membolehkan penyadapan dilakukan tanpa izin, asalkan permohonan izin diajukan maksimal dua hari setelahnya. Jika permohonan ditolak, penyadapan harus segera dihentikan dan seluruh hasilnya dimusnahkan. Bukti dari penyadapan itu juga tidak boleh digunakan dalam proses hukum.
Peradi mengusulkan pasal penyadapan dihapus di RUU KUHAP
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ikut menyoroti aturan penyadapan yang tercantum dalam draf Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Refa, bahkan mengusulkan agar pasal tersebut dihapus.
Menurutnya, penyadapan berisiko disalahgunakan jika tidak diatur secara ketat. Ia juga menilai, ketentuan soal penyadapan sebenarnya sudah diatur dalam beberapa undang-undang lain.
“Dalam upaya paksa yang dimiliki untuk tindak pidana umum yang ada di dalam KUHAP ini, penyadapan harus dihilangkan,” kata Sapriyanto, melansir dari Tempo yang mengutip dalam Antara
Ia menyebut, mekanisme penyadapan sudah ada dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Kepolisian. Karena itu, menurutnya, tidak perlu lagi diatur ulang dalam KUHAP.
Sapriyanto juga menyarankan agar bentuk upaya paksa dalam KUHAP cukup dibatasi pada beberapa tindakan, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, dan pelarangan tersangka keluar wilayah Indonesia.
DPR rencanakan UU Khusus Penyadapan
Ketentuan soal penyadapan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengundang perhatian banyak pihak. Menanggapi berbagai masukan itu, DPR memastikan tidak akan mengatur soal penyadapan di dalam revisi KUHAP. Sebagai gantinya, DPR berencana membuat undang-undang khusus yang mengatur penyadapan secara lebih lengkap.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, mengatakan rencana tersebut sebenarnya sudah ada sejak periode sebelumnya. Bahkan, menurutnya, DPR sudah mengeluarkan anggaran untuk membahas hal itu. “Bahkan, kami sudah melakukan beberapa kunjungan kerja, artinya sudah ada biaya negara yang dikeluarkan untuk membahas penyadapan ini,” kata Habiburokhman dalam keterangan tertulis di laman resmi DPR, Sabtu 12/7/2025.
Ia juga menegaskan bahwa penyadapan tidak akan dimasukkan dalam RUU KUHAP. “Tidak ada pengaturan soal penyadapan di KUHAP ini,” kata dia dalam konferensi pers di ruang Komisi III DPR, Jakarta, Jumat 11/7/2025.
- Penulis: Nisrina