PDIP Peringati Kudatuli, Desak Pengakuan HAM Berat
- account_circle Nisrina
- calendar_month Sen, 28 Jul 2025

menalar.id – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kembali memperingati peristiwa Kudatuli yang terjadi 29 tahun lalu. Tahun ini, peringatan digelar dengan tabur bunga dan doa bersama di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat (27/7/2025).
Kudatuli adalah singkatan dari “Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli”, sebuah tragedi politik yang terjadi pada 1996 saat masa pemerintahan Orde Baru. Kerusuhan itu bermula dari konflik internal partai, tepatnya antara kubu Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi, yang saat itu mendapat dukungan dari pemerintah.
Komnas HAM turun tangan sehari setelah kejadian. Dalam investigasinya, Komnas mencatat ada enam bentuk pelanggaran hak asasi manusia, seperti pelanggaran hak berkumpul, rasa aman, hingga perlindungan terhadap nyawa dan harta benda.
Data resmi menyebutkan, peristiwa itu menyebabkan lima orang meninggal, 149 luka-luka, dan 23 orang dinyatakan hilang. Kerugian materinya ditaksir mencapai Rp 100 miliar.
PDIP Minta Kudatuli Diakui Sebagai Pelanggaran HAM Berat
Dalam momen peringatan ini, PDIP kembali mendesak agar tragedi Kudatuli diakui secara resmi sebagai pelanggaran HAM berat. Kepala Badan Sejarah Indonesia PDIP Bonnie Triyana, menilai bahwa sejarah kerap kali menjadi hal yang sensitif bagi kekuasaan.
“Sejarah menjadi momok menakutkan bagi rezim sehingga sejarah itu perlu direkayasa. Dengan kekuatan ingatanlah yang bisa mengoreksi jalannya kekuasaan yang zalim,” ucap Bonnie dalam pidatonya.
Bonnie juga mengingatkan bahwa PDIP sudah menyampaikan permohonan kepada Komnas HAM tahun lalu. “Tahun kemarin kami sudah ke Komnas HAM. Kami minta peristiwa Kudatuli ini sebagai pelanggaran HAM berat ke-13,” ujarnya.
Ketua DPP PDIP, Ribka Tjiptaning, juga menyampaikan hal serupa. “Kami menuntut peristiwa Kudatuli 1996 menjadi pelanggaran HAM berat,” kata Ribka dalam orasinya di hadapan para kader.
Disebut Jadi Titik Balik Lahirnya Reformasi
Ribka menyebut Kudatuli sebagai salah satu pemicu utama lahirnya gerakan reformasi. Menurutnya, saat itu rakyat mulai bersuara karena merasa diperlakukan tidak adil secara politik.
“Adanya reformasi ini karena ada Kudatuli. Mba Mega dijadikan lambang perjuangan rakyat karena rakyat tidak boleh bicara politik,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa kemunculan Megawati saat itu sebagai simbol perlawanan rakyat bukan tanpa alasan. “Begitu muncul sosok Megawati yang dizalimi oleh Soeharto waktu itu, diadu dengan bonekanya, Suryadi, terjadilah perlawanan rakyat,” tutur Ribka.
Meski begitu, ia menyayangkan belum adanya penyelesaian hukum yang tuntas atas tragedi tersebut. “Hukum masih mengangkangi partai kita,” katanya.
Sekjen Hasto Absen, PDIP Siapkan Pergantian
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, tidak hadir dalam peringatan kali ini. Hasto saat ini sedang menjalani hukuman 3 tahun 6 bulan penjara karena kasus suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR periode 2019-2024 yang melibatkan Harun Masiku.
Ribka menilai vonis terhadap Hasto sebagai bentuk ketidakadilan hukum. “Kok, sedih banget sih, ya sekjen kami masih ditekan oleh hukum. Putusan kemarin menunjukkan hukum belum berpihak kepada rakyat, tapi masih tunduk kepada segelintir penguasa. PDIP Perjuangan masih dizalimi hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menyebut posisi Hasto masih sebagai sekjen hingga keputusan partai ditentukan dalam kongres mendatang. “Posisi Mas Hasto sekarang ini masih Sekjen, maka pergantian Sekjen nanti kita tunggu di kongres,” kata Djarot.
(Sumber: TEMPO)
- Penulis: Nisrina
