DPP IMM Desak Pemerintah dan DPR Tolak Putusan MK soal Pemisahan Pemilu
- account_circle Nisrina
- calendar_month Sel, 5 Agu 2025

menalar.id – Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) meminta DPR dan pemerintah untuk tidak menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXIII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah.
Permintaan itu disampaikan oleh Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP IMM Muhammad Habibi pada senin (4/8/2025).
Habibi menyebut permintaan tersebut berdasarkan hasil kajian akademik DPP IMM sebagai bentuk eksaminasi terhadap putusan MK yang menuai banyak perdebatan. Dalam kajian itu, mereka menilai keputusan MK justru menabrak konstitusi
MK dinilai langgar batas kewenangan
Habibi menilai, dalam memutus perkara ini MK bertindak sebagai positif legislator, padahal seharusnya MK hanya menjadi negatif legislator. Ia menjelaskan, positif legislator adalah pihak yang membentuk norma baru dalam undang-undang, dan itu adalah wewenang DPR dan pemerintah.
“Kewenangan ini hanya dimiliki oleh lembaga legislatif dan eksekutif (DPR dan Pemerintah) berdasar pada hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” jelas Habibi.
Sementara MK, lanjutnya, seharusnya hanya punya kewenangan membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD 1945 itu yang disebut sebagai negatif legislator.
Ia menyebut MK justru membentuk norma baru soal “Pemilu Daerah” yang menggabungkan Pilkada dengan pemilihan legislatif daerah. Menurutnya, dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 sudah jelas bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.
“Pemilu dan Pilkada itu menjadi bagian yang terpisahkan… Namun MK secara tidak langsung menabrak kedua Pasal (22E ayat 2 dan 18 ayat 4) UUD 1945 itu dengan merumuskan norma baru dalam Putusan MK 135 tersebut, dan hal itu melanggar konstitusi (inkonstitusional),” bebernya.
Putusan dinilai tak konsisten
Selain soal wewenang, Habibi juga menyoroti inkonsistensi dalam putusan MK. Ia menyebut di salah satu pertimbangan hukumnya, MK menyatakan sistem pemilu lima kotak sebelumnya tidak bertentangan dengan konstitusi. Tapi di amar putusannya, MK justru memutuskan pemisahan pemilu nasional dan daerah
“Seharusnya, jika MK memutuskan bahwa pemilu harus dilakukan dengan sistem/desain Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, maka logika hukumnya, MK harusnya membatalkan sistem/desain pemilu sebelumnya,” ujarnya.
Putusan bisa cacat hukum
Habibi juga menegaskan bahwa tidak semua putusan pengadilan, termasuk MK bebas dari kecacatan hukum. Ia menyebut, meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, bukan berarti putusan itu tidak bisa dikritisi.
“Putusan MK itu juga merupakan suatu Putusan Pengadilan, bukan berarti Putusan MK itu tidak memiliki kecacatan hukum… Perbedaannya hanya pada Putusan MK bersifat final dan terakhir, artinya tidak ada upaya hukum atas Putusan MK,” tegasnya.
Bukan pembangkangan jika tak dilaksanakan
Habibi juga menegaskan bahwa jika DPR dan pemerintah tidak melaksanakan putusan MK ini, bukan berarti melanggar hukum atau melakukan pembangkangan konstitusi.
Menurutnya, bagaimana mungkin DPR dan pemerintah mengubah undang-undang berdasarkan putusan MK yang ia nilai inkonstitusional atau cacat hukum.
Ia mencontohkan, dengan adanya istilah baru “Pemilu Daerah” dalam putusan MK, maka secara tidak langsung MK membatalkan UU Pilkada, padahal yang diuji hanya sebagian norma, bukan undang-undangnya secara keseluruhan
Kritik untuk Perludem
Habibi juga mengkritik LSM Perludem yang jadi pemohon dalam perkara ini. Ia menilai, seharusnya kalau ingin mengubah desain pemilu disampaikan ke DPR, bukan lewat judicial review ke MK.
“Perludem sebagai pemohon harusnya mengajukan permohonan perubahan skema sistem/desain pemilu ini ke DPR RI, bukan justru ke MK, tapi aneh bin ajaibnya MK menerima permohonan ini,” tegasnya
Dalam permohonannya, Perludem sempat menyatakan bahwa DPR penuh dengan intrik politik dan hanya memikirkan kepentingan partai. Habibi menanggapi hal itu sebagai bentuk penggiringan opini.
“Apapun kondisinya, suka atau tidak suka, DPR itu sebagai salah satu Positif Legislator, satunya lagi Pemerintah, bukan dikit-dikit uji materi… proses dialog dengan pemangku kepentingan jangan juga dihindari… harusnya Perludem lebih paham soal itu,” pungkasnya
(Sumber: rmol.id)
- Penulis: Nisrina