Warga Singapura Kini Pas-Pasan, Sulit Menabung Akibat Biaya Hidup
- account_circle Nazula Destiyana
- calendar_month Kam, 14 Agu 2025

menalar.id – Reputasi Singapura yang selama ini identik dengan pengelolaan keuangan yang cermat dan tingkat tabungan tinggi kini mulai memudar. Hal ini dipicu oleh melonjaknya biaya hidup.
Para pakar menilai, mahalnya kebutuhan sehari-hari serta kecenderungan masyarakat untuk lebih mengutamakan pengalaman dan perawatan diri membuat perencanaan keuangan jangka panjang tidak lagi menjadi prioritas. Akibatnya, banyak pekerja hidup “pas-pasan” dari gaji ke gaji.
“Di akhir setiap bulan, saat gaji saya masuk, saya menggunakannya untuk membayar tagihan kartu kredit, uang saku orang tua, asuransi, dan investasi,” ucap Jovan Yeo (31), warga Singapura yang bekerja di perusahaan layanan perbankan digital, Kamis (14/8/2025) dikutip dari CNBC International.
“Setelah semua itu, gaji saya kembali nol lagi, dengan tidak banyak yang bisa ditabung,” tambahnya, seraya menyebut pengeluaran lainnya digunakan untuk bepergian, makan di luar, dan keanggotaan kelas kebugaran.
Peneliti Ikut Mengamat
Perusahaan penggajian ADP turut membenarkan fenomena tersebut. Sekitar 60% pekerja di Singapura pada 2024 hidup dari gaji ke gaji.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti China, Korea Selatan, Jepang, maupun Indonesia. Rata-rata Asia-Pasifik hanya 48%.
Meski ini merupakan riset perdana ADP yang melibatkan hampir 38.000 responden di 34 pasar, temuan serupa juga muncul dalam studi lain. Survei Forrester Research pada 2021 menemukan 53% konsumen Singapura hidup dari gaji ke gaji.
Laporan kesehatan finansial terbaru dari Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) yang dirilis akhir 2024 pun menunjukkan tren mengkhawatirkan, yakni jumlah warga Singapura usia 20–50 tahun yang mulai merencanakan pensiun menurun dibandingkan 2023.bYeo mengakui pentingnya menabung, namun menyebut semakin sulit melakukannya di tengah biaya hidup yang terus meningkat.
“Saya bisa menabung jika saya tidak keluar, tetapi saya juga ingin memiliki kehidupan dan pengalaman,” katanya.
Ekonom Maybank Research Brian Lee, menjelaskan bahwa sejumlah faktor makroekonomi memang membuat masyarakat Singapura lebih sulit menabung. Meski inflasi sempat turun ke level terendah dalam empat tahun, biaya hidup tetap tinggi akibat faktor struktural seperti harga perumahan dan biaya impor yang mahal.
Berdasarkan Indeks Biaya Hidup Numbeo, mengompilasi data harga pangan, utilitas, dan transportasi. Hasilnya, Singapura menempati posisi kelima dunia dengan skor 85,3 pada pertengahan 2025, tertinggi di kawasan Asia, naik 11% dibanding tahun sebelumnya.
Survei YouGov pada April 2025 juga mengungkap 72% dari 1.845 warga Singapura menempatkan biaya hidup sebagai kekhawatiran utama, diikuti isu layanan kesehatan dan populasi menua.
“Biaya hidup telah meningkat lebih cepat daripada pendapatan selama periode inflasi harga konsumen yang tinggi pascapandemi,” kata Lee.
Menurutnya, hal ini berarti daya beli rata-rata pekerja menyusut setiap tahun sejak pandemi, bukannya meningkat seperti sebelumnya.
Data Maybank memperlihatkan pendapatan median riil turun 0,4% per tahun dalam periode 2019–2024, berbanding terbalik dengan pertumbuhan rata-rata tahunan 2,2% pada 2014–2019. Walau sempat pulih pada 2024, pertumbuhan upah riil diperkirakan melambat pada 2025 akibat tekanan tarif, khususnya di sektor perdagangan grosir dan manufaktur.
Biaya Perumahan Jadi Beban Tambahan
Lonjakan harga perumahan turut memperparah kondisi. Data Badan Pembangunan Perumahan Singapura mencatat harga jual kembali apartemen publik, yang dihuni hampir 80% penduduk—naik 9,6% pada 2024. Ini lebih tinggi dibanding kenaikan 4,9% pada 2023.
“Singapura memiliki lahan, ruang, dan sumber daya alam yang terbatas. Hal ini menyebabkan harga properti yang tinggi, harga mobil yang tinggi, dan ketergantungan pada makanan impor,” jelas Lee.
“Karena ketergantungan kita pada impor, inflasi domestik kita sangat berkorelasi dengan inflasi global, yang tinggi akibat gangguan pandemi yang berhubungan dengan peningkatan permintaan barang, kekurangan tenaga kerja, dan masalah rantai pasokan,” tambahnya.
Penulis Nazula Destiyana
Sejak kecil tumbuh di antara koran dan buku, kini berkembang menjadi penulis yang mengeksplorasi jurnalistik, penelitian, dan media digital. Aktif dalam kompetisi menulis dan UI/UX, serta selalu penasaran dengan dunia politik dan sains teknologi.