Pemerintah Kaji Revisi Standar Garis Kemiskinan Nasional yang Tak Berubah
- account_circle Sayida
- calendar_month Rab, 11 Jun 2025

menalar.id,. – Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf mengungkapkan pemerintah sedang mempercepat proses revisi garis kemiskinan nasional yang masih menggunakan metode penghitungan sama sejak 1998. Ia menyatakan tim dari Bappenas, Bank Dunia, dan BPS telah mengkaji metodologi baru selama enam bulan terakhir.
“Enam bulan terakhir saya kerja sama dengan teman-teman di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), juga dengan Bank Dunia, lalu komunikasi juga dengan BPS untuk segera merevisi, jadi sudah mulai ada proses,” jelas Arief dilansir dari Tempo, Minggu (8/6/2025).
Kesenjangan dengan Standar Global
Arief menekankan revisi harus tuntas tahun ini mengingat garis kemiskinan Indonesia yang Rp595 ribu/bulan hampir menyentuh batas kemiskinan ekstrem Bank Dunia (Rp545 ribu/bulan). Padahal, Indonesia berstatus upper-middle income country dengan standar kemiskinan global US$8,30/hari (Rp2,5 juta/bulan).
Bank Dunia baru saja merevisi standar kemiskinan internasional:
– Negara berpendapatan rendah: naik dari US$2,15 menjadi US$3,00/hari
– Lower-middle income: dari US$3,65 ke US$4,20/hari
– Upper-middle income: dari US$6,85 ke US$8,30/hari
Perubahan ini menggunakan paritas daya beli (PPP) 2021, menggantikan PPP 2017.
Dampak Jika Tak Diperbarui
Bank Dunia resmi merevisi standar pengukuran kemiskinan global per Juni 2025. Imbasnya, angka kemiskinan Indonesia melonjak tajam. Dari sebelumnya 171,7 juta jiwa pada 2024, kini tercatat 194,6 juta penduduk Indonesia atau setara 68,25 persen populasi nasional dikategorikan miskin.
Jumlahnya menjadi sekitar 194,6 juta jiwa. Angka ini naik dibandingkan dengan penggunaan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas sebelumnya US$ 6,85 mengacu pada PPP 2017. Dengan ukuran tersebut, tingkat kemiskinan Indonesia sebelumnya 60,3% dari total penduduk pada 2024 atau sekitar 171,7 juta jiwa.
Data BPS September 2024 menunjukkan 8,57% penduduk (24,06 juta jiwa) hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Namun jika menggunakan:
– Standar upper-middle income: angka kemiskinan melonjak jadi 68,25% (193,49 juta jiwa)
– Garis kemiskinan internasional: 5,5% (15,42 juta jiwa)
Arief memperingatkan risiko kebijakan tidak tepat jika menggunakan data usang.
“Kalau kebijakan ekonomi kita dipengaruhi oleh informasi semu, bahwa kemiskinan kita sudah rendah, nanti kebijakan-kebijakan kita tidak akan proper,” tegas ekonom Unpad ini. Ia menambahkan, data saat ini tidak mencerminkan tekanan hidup riil masyarakat.
- Penulis: Sayida