Fadli Zon Pertanyakan Bukti, Korban dan Aktivis Bangkitkan Ingatan Tragedi Mei 1998
- account_circle Sayida
- calendar_month Ming, 15 Jun 2025

menalar.id,. – Pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal tragedi pemerkosaan massal dalam tragedi mei 1998 memicu gelombang kritik. Ia menyebut insiden itu sebagai sekadar rumor, sebuah pernyataan yang langsung memantik kecaman dari berbagai organisasi masyarakat sipil hingga warganet.
Fadli mengemukakan pandangannya dalam wawancara bersama jurnalis senior IDN Times, Uni Zulfiani Lubis, yang membahas proses penulisan ulang sejarah. Dalam perbincangan tersebut, Fadli menegaskan bahwa narasi tentang pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa yang selama ini berkembang luas, tidak memiliki bukti kuat untuk dimasukkan dalam sejarah resmi Indonesia.
“Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?” kata Fadli Zon dalam wawancara yang ditayangkan di kanal YouTube IDN Times pada Rabu, (11/6/2025).
Ucapan tersebut segera memicu reaksi publik yang luas. Kontroversi ini membangkitkan kembali ingatan kolektif masyarakat atas babak kelam dalam sejarah reformasi.
Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13–15 Mei 1998 yang dibentuk beberapa bulan setelah kerusuhan terjadi, mayoritas korban kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 berasal dari perempuan etnis Tionghoa. Meski begitu, TGPF mencatat bahwa kekerasan dalam peristiwa tersebut tidak hanya menimpa etnis Tionghoa, tetapi juga kelompok lainnya. Namun, kekerasan seksual secara khusus paling banyak dialami oleh perempuan Tionghoa dari berbagai lapisan kelas sosial.
Hingga 3 Juli 1998, sebanyak 168 orang telah melaporkan diri sebagai korban pemerkosaan dan pelecehan seksual massal. Dari jumlah itu, TGPF berhasil memverifikasi 85 perempuan sebagai korban kekerasan berbasis gender.
Dalam laporan tersebut, tim merinci jenis kekerasan yang dialami: 52 korban mengalami pemerkosaan, 14 orang menjadi korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 orang mengalami serangan atau penganiayaan seksual, dan sembilan lainnya menjadi korban pelecehan seksual.
Saat era reformasi 1998, Fadli Zon bukan lagi mahasiswa, melainkan sudah duduk menjadi anggota Dewan. Di pengujung masa pemerintahan Orde Baru, Fadli Zon adalah anggota MPR dari utusan golongan pemuda (1997-1999).
Laporan tersebut memicu gelombang demonstrasi di berbagai kota besar dunia. Para demonstran menuntut agar pemerintah Indonesia mengusut tuntas kasus ini. Aksi-aksi protes tercatat terjadi di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Boston, Beijing, Bangkok, hingga Hongkong. Saat itu, para demonstran menggelar aksi di luar pagar kedutaan.
Di Taipei, sejumlah aktivis perempuan, politisi, ekonom, dan akademisi bersatu mendesak pemerintah Taiwan agar menjatuhkan sanksi ekonomi kepada pemerintah Indonesia. Tokoh perempuan Taiwan, Huang Selling, menyerukan bahwa pemerkosaan massal terhadap kelompok etnis mana pun tidak boleh dibiarkan tanpa ganjaran yang setimpal.
Sementara itu, aksi protes di Hongkong bahkan sempat berlangsung panas. Massa melempari gerbang Konsulat Jenderal RI dengan telur busuk. Kepala Bidang Penerangan Konsulat, Suhadi, mengonfirmasi bahwa unjuk rasa terkait pemerkosaan Mei 1998 memang terjadi di wilayah tersebut. Antara pertengahan Juli hingga akhir Agustus 1998, tercatat 17 kali demonstrasi yang melibatkan total sekitar 4.000 peserta.
Penulis Sayida
Memimpin tim redaksi dengan fokus pada pemberitaan akurat, mendalam, dan memancing nalar pembaca. Fokus di rubrik nasional, ekonomi, dan hukum