Mayoritas Laki-Laki, Pasien HIV di RSHS Bandung Tembus 1.700
- account_circle Nazula Destiyana
- calendar_month Rab, 3 Des 2025

menalar.id., – Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung melaporkan jumlah pasien HIV yang menjalani pengobatan masih terus bertambah. Meski laju peningkatannya mulai melambat. Adapun pasien terbanyak dari kelompok usia produktif, terutama laki-laki.
Ketua Penanggulangan HIV RSHS dr. Rudi Wisaksana menyampaikan, sepanjang 2025 terdapat sekitar 1.700 pasien yang rutin melakukan kontrol di rumah sakit tersebut.
“Jumlahnya masih bertambah tapi sudah mulai menurun dibanding tahun-tahun lalu. Kalau RSHS kita merawat sekitar 1.700an, lah. Yang rutin berobat saat ini kira-kira sekitar 1700. Kalau angka persisnya mungkin mintanya ke dinas kesehatan, karena di situ kan catatannya paling lengkap dari semua tempat gitu kan,” kata Rudi, Selasa (2/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa sebagian besar pasien berusia 25–40 tahun. Kebanyakan dari mereka menggunakan layanan pembiayaan BPJS untuk terapi.
“Kebanyakan memakai BPJS, tapi tidak semua,” sambungnya.
Dalam peringatan Hari AIDS Sedunia 2025, RSHS mengangkat tema “Merangkul dengan Empati”. Hal ini sejalan dengan tujuan negara, yaitu “Bersama Hadapi Perubahan: Jaga Keberlanjutan Layanan HIV”.
Stigma Buruk Menghambat Pasien HIV
Rudi menekankan bahwa stigma dan diskriminasi masih menjadi persoalan utama yang menghambat pasien HIV/AIDS. Bahkan di fasilitas kesehatan.
“Walaupun layanan sudah membaik, masih ada stigma dan diskriminasi. Itu menghambat layanan, menambah waktu, dan mempersulit pasien. Harus dihilangkan,” ucapnya.
Menurutnya juga tenaga kesehatan memegang peran penting dalam membangun layanan yang inklusif dan ramah pasien.
“Mungkin karena kelelahan atau banyak pekerjaan, mereka tidak sengaja menstigma. Karena itu kami berusaha perbaiki agar layanan lebih ramah terhadap siapa pun,” tambahnya.
RSHS menunjukkan komitmen tersebut dengan melakukan penandatanganan deklarasi oleh para tenaga medis dalam rangka Hari AIDS Sedunia.
Direktur Utama RSHS Bandung dr. Rachim Dinata Marsidi, juga menegaskan bahwa praktik diskriminatif bukan hanya persoalan etika. Tetapi berpotensi menghambat efektivitas pengobatan.
“Tidak boleh ada lagi diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan tidak boleh ada hambatan bagi mereka yang ingin mengakses layanan,” tegasnya, dalam rilis yang diterima pada waktu yang sama.
Ia menambahkan bahwa Indonesia memiliki target global untuk mencapai Ending HIV 2030. Maka, mereka membutuhkan kerja sama lintas sektor, inovasi layanan, serta pendampingan berkelanjutan bagi pasien.
Penulis Nazula Destiyana
Sejak kecil tumbuh di antara koran dan buku, kini berkembang menjadi penulis yang mengeksplorasi jurnalistik, penelitian, dan media digital. Aktif dalam kompetisi menulis dan UI/UX, serta selalu penasaran dengan dunia politik dan sains teknologi.
