Putusan MK Pisahkan Pemilu 2029, KPU Lega, Parpol Waswas
- account_circle Nisrina
- calendar_month Jum, 18 Jul 2025

Oplus_131072
menalar.id- Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan bahwa pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah akan dipisah mulai tahun 2029. Putusan itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dengan aturan baru ini, pemilu nasional nantinya hanya akan memilih anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sementara pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan digelar bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada), seperti pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Wakil Ketua MK Saldi Isra, mengatakan bahwa sejak Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, belum ada revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Padahal, menurutnya, DPR dan pemerintah sudah mulai menyusun langkah untuk mereformasi seluruh undang-undang yang berkaitan dengan pemilu.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi Isra dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Keputusan ini disambut beragam. Di satu sisi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merasa lega karena pemisahan pemilu dapat mengurangi beban kerja yang selama ini dinilai sangat berat, bahkan menimbulkan kelelahan ekstrem bagi para penyelenggara.
Namun di sisi lain, sejumlah partai politik menyuarakan keberatannya. Mereka menilai pemisahan pemilu bisa memengaruhi strategi kampanye, logistik, serta biaya politik yang akan membengkak.
Meski menuai pro dan kontra, keputusan MK ini menandai langkah besar dalam pembenahan sistem pemilu di Indonesia. Selanjutnya, tinggal menunggu tindak lanjut dari DPR dan pemerintah dalam merevisi regulasi agar sejalan dengan putusan tersebut.
KPU sambut baik putusan mk
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI M Afifuddin menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal mulai 2029. Ia menyebut, putusan tersebut bisa membantu meringankan beban kerja penyelenggara pemilu yang selama ini dianggap terlalu padat.
“Jadi, memang benar kalau kemudian model pemilunya seperti (putusan MK) ini, seperti nasional-lokal ini, secara waktu, kalau memang jedanya 2,5 tahun, ini lebih meringankan penyelenggaraan,” ujar Afifuddin dalam sebuah webinar, Kamis (17/7/2025).
Menurutnya, keputusan MK ini sangat relevan dengan hasil evaluasi Pemilu Serentak 2024 yang lalu. Saat itu, penyelenggara menghadapi tekanan besar karena tahapan pemilu dilakukan nyaris tanpa jeda.
Untuk pemilu nasional saja, yakni pemilihan presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif Afifuddin menyebut KPU butuh waktu minimal 20 bulan hanya untuk tahap awal.
Masalahnya, ketika tahapan itu masih berjalan, penyelenggara sudah harus menyiapkan Pilkada serentak. “Maka berhimpitan mulai itu di Januari 2024. Pemilunya 2024, bulan Februari, tengah 14. Januari 2024, awal itu sudah mulai perencanaan dan penganggaran (untuk Pilkada),” jelasnya.
Afifuddin melanjutkan, saat petugas di lapangan masih sibuk mendistribusikan logistik dan pelatihan teknis (Bimtek) untuk hari-H pemilu, mereka juga sudah harus membahas anggaran untuk Pilkada.
“Teman-teman kita sibuk melakukan pembahasan anggaran dan seterusnya, di saat dia juga harus sibuk melakukan distribusi logistik dan Bimtek persiapan hari pelaksanaan pemilu 2024,” sambungnya.
Dengan adanya pemisahan pemilu ke depan, ia berharap kerja penyelenggara bisa lebih fokus dan tidak lagi terburu-buru mengejar jadwal yang beririsan.
Parpol kritik putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah menuai kritik dari sejumlah partai politik. Mereka menilai keputusan tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum hingga dianggap mencederai konstitusi.
Partai Nasdem menjadi salah satu yang paling vokal. Dalam pernyataan resminya, Nasdem menyebut putusan MK sebagai tindakan inkonstitusional yang justru mencuri kedaulatan rakyat.
“Putusan MK ini menimbulkan problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” ujar anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, saat membacakan sikap resmi DPP Nasdem di Jakarta, Senin (30/6/2025) malam.
Nasdem menyampaikan sepuluh poin keberatan, termasuk anggapan bahwa MK telah melampaui kewenangannya dengan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah. “MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis,” tegas Lestari.
Nasdem juga mengingatkan bahwa pemisahan waktu antara pemilu DPR, DPD, dan presiden dengan pemilu DPRD dan kepala daerah berpotensi melanggar Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun. “Jika masa jabatan anggota DPRD diperpanjang tanpa pemilu, maka mereka menjabat tanpa legitimasi rakyat. Ini jelas inkonstitusional,” lanjutnya.
Golkar: pemisahan pemilu memicu instabilitas politik
Sementara itu, Partai Golkar melalui Wakil Ketua Umum Adies Kadir menyampaikan kekhawatirannya soal dampak dari putusan tersebut. Menurutnya, pemisahan pemilu justru bisa mengganggu jalannya pemerintahan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ia juga mengingatkan bahwa MK sendiri pernah memutuskan soal pentingnya keserentakan pemilu melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. “Putusan itu memberikan enam pilihan dan dipilih satu. Itu kan juga putusan MK yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pemilu,” kata Adies.
PKB: MK melampaui batas konstitusional
Kritik serupa juga datang dari PKB. Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal, menyebut MK telah bertindak melampaui batas konstitusional. “Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” ujarnya.
Cucun juga menyoroti risiko masa transisi yang panjang jika jadwal pemilu dipisah. Ia mencontohkan perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang diisi Penjabat (Pj) membuat sistem pemerintahan di daerah sempat terganggu. “Apalagi yang kayak kemarin, perpanjangan kepala daerah sampai Pj itu kan banyak membuat sistem pemerintahan agak terganggu juga,” katanya.
PDI-P: Masih mendalami putusan MK
Di sisi lain, PDI Perjuangan masih belum menyampaikan sikap resminya. Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Aria Bima, mengatakan partainya sedang melakukan kajian mendalam terhadap putusan tersebut. “PDI Perjuangan hari ini baru akan rapat menyikapi hal tersebut,” ujarnya, Selasa (1/7/2025).
(Sumber: KOMPAS)
- Penulis: Nisrina