Perdana! Pembelot Korut Gugat Kim Jong Un Atas Kekerasan Seksual
- account_circle Nazula Destiyana
- calendar_month Jum, 11 Jul 2025

menalar.id – Pembelot dari Korea Utara (Korut) Choi Min-kyung resmi mengajukan gugatan pidana dan perdata terhadap Kim Jong Un. Gugatan tersebut berisi tuduhan penyiksaan dan pelecehan seksual yang dialaminya selama masa penahanan di Korea Utara.
Choi awalnya melarikan diri ke Tiongkok pada 1997, namun pada 2008 ia ditangkap dan dideportasi kembali ke Korut. Setelah itu, ia mengklaim menjadi korban penyiksaan dan kekerasan seksual dalam tahanan. Ia berhasil melarikan diri kembali pada 2012 dan kini tinggal di Korea Selatan (Korsel).
Gugatan yang diajukan, pada Jumat (11/7/2025), di Seoul ini merupakan tuntutan pidana pertama terhadap rezim Korut oleh warga kelahiran negara tersebut. Hal itu disampaikan Pusat Basis Data Hak Asasi Manusia Korea Utara (NKDB), sebuah organisasi HAM di Korsel.
Selain Kim Jong Un, Choi juga menuntut empat pejabat senior Korut lainnya. NKDB menyatakan akan membawa kasus ini ke forum internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai bentuk dorongan terhadap akuntabilitas global.
“Langkah kecil ini saya harap bisa menjadi pijakan awal dalam memulihkan kebebasan dan martabat manusia, agar tidak ada lagi rakyat Korea Utara yang harus mengalami penderitaan seperti saya,” tutur Choi melalui pernyataan tertulis yang dirilis NKDB.
Choi mengaku masih mengalami trauma berat akibat kejadian itu dan terus menjalani pengobatan hingga saat ini. Selama ini, berbagai organisasi HAM internasional telah mencatat pelanggaran serius di Korea Utara. Termasuk penyiksaan tahanan politik, kekerasan berbasis gender, dan diskriminasi sosial sistematis.
Direktur Eksekutif NKDB Hanna Song, menekankan bahwa nilai penting gugatan ini terletak pada keberaniannya membawa proses pidana dan perdata secara bersamaan. Berbeda dengan tuntutan sebelumnya yang hanya dalam ranah perdata.
Sebagai contoh, pada tahun 2023, pengadilan di Seoul memerintahkan pemerintah Korut untuk memberikan kompensasi sebesar 50 juta won atau sekitar Rp600 juta kepada tiga warga Korsel yang pernah menjadi korban kerja paksa setelah Perang Korea. Sementara pada 2024, pengadilan juga memerintahkan Pyongyang membayar masing-masing 100 juta won sekitar Rp1,2 miliar kepada lima pembelot keturunan Korea-Jepang yang dulunya direkrut melalui program repatriasi dari Jepang pada 1960–1980-an.
Program itu menjanjikan kehidupan sejahtera, namun mereka justru dipaksa bekerja di kondisi buruk. Sejauh ini, Korut belum memberikan tanggapan terhadap putusan-putusan hukum tersebut.
Penulis Nazula Destiyana
Sejak kecil tumbuh di antara koran dan buku, kini berkembang menjadi penulis yang mengeksplorasi jurnalistik, penelitian, dan media digital. Aktif dalam kompetisi menulis dan UI/UX, serta selalu penasaran dengan dunia politik dan sains teknologi.