KPPOD Soroti Kenaikan PBB di Cirebon, Tagihan Warga Naik hingga 1.000 Persen
- account_circle Nisrina
- calendar_month Kam, 14 Agu 2025

menalar.id – Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bisa membebani warga serta pelaku usaha. Dalam kajiannya, KPPOD menemukan kenaikan signifikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) akibat perubahan tarif dan nilai jual objek pajak (NJOP) yang tercantum dalam perda baru itu.
Direktur Eksekutif KPPOD, Herman Suparman, menjelaskan bahwa perda baru ini menggantikan Perda Nomor 3 Tahun 2012 yang sebelumnya memakai tarif berjenjang dengan batas maksimal 0,2 persen. “Perda baru menetapkan delapan kategori NJOP, dengan tarif maksimal 0,5 persen sesuai UU HKPD. Dengan asumsi tarif maksimal dan NJOP tetap, kenaikan bisa mencapai 150 persen,” kata Herman dalam laporan analisis KPPOD pada Kamis (14/8/2025).
Menurut Herman, dampak kenaikan ini berbeda-beda untuk wajib pajak. Ada yang tidak terdampak, tapi ada juga yang tagihannya melonjak sampai 150 persen. Penerapan zona nilai tanah (ZNT) berdasarkan nama jalan bahkan memicu lonjakan 100-1.000 persen di beberapa kasus. “Ada warga yang tadinya membayar sekitar Rp 300 ribu, sekarang menjadi Rp 2,2 juta per tahun,” ujarnya.
KPPOD juga menyoroti minimnya pelibatan publik dalam penyusunan perda. “Pendekatannya top-down, hanya melibatkan eksekutif dan legislatif. Masyarakat dan pelaku usaha tidak dilibatkan, bahkan sosialisasi hanya untuk OPD dan pemerintah pusat,” tuturnya.
Selain itu, mereka mencatat proses penyusunan perda berlangsung tergesa-gesa, mulai Oktober 2023 hingga disahkan Januari 2024, sementara naskah akademiknya baru dibuka untuk publik pada Juli 2024.
Upaya pemerintah memberikan diskon pajak dinilai belum jadi solusi. “Stimulus 90 persen tetap membuat kenaikan pajak dua kali lipat, dan belum ada kepastian akan berlanjut di tahun berikutnya,” kata Herman.
Dalam kesimpulannya, KPPOD merekomendasikan pencabutan perda ini. “Kenaikan tarif dan penetapan NJOP berpotensi mengganggu persaingan usaha, melanggar prinsip perdagangan internal bebas, dan menurunkan daya saing daerah,” ucapnya.
Herman menyebut lonjakan PBB serupa juga terjadi di beberapa daerah. Secara hukum, kenaikan seperti di Pati tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, tapi kebijakan pajak seharusnya mempertimbangkan kemampuan wajib pajak. “Di Kota Cirebon, PBB-P2 naik gila-gilaan, sampai ada kelompok pelaku usaha yang menggugat ke Mahkamah Agung,” kata Herman.
Sementara itu, Wali Kota Cirebon Effendi Edo membantah adanya kenaikan PBB hingga 1.000 persen seperti keluhan warga. “Kalau kenaikan ada, tapi tidak sampai 1.000 persen,” tuturnya.
Edo menjelaskan kenaikan PBB ini sudah ditetapkan sejak tahun lalu, jauh sebelum ia menjabat. “Saya baru lima bulan memimpin,” ujarnya. Menurutnya, Kementerian Dalam Negeri memberikan delapan opsi, lalu pemerintah kota memadukannya hingga lahirlah Perda Nomor 1 Tahun 2024 saat kota masih dipimpin penjabat wali kota.
Untuk saat ini, pemerintah daerah sedang mengkaji desakan warga untuk mengubah perda tersebut. “Kalau memang hasil evaluasi dan kajian menyatakan perlu diubah, ya tidak menutup kemungkinan,” kata Edo.
Ia menargetkan kajian selesai pekan ini. “Formulasi yang kita buat itu sesuai dengan keinginan masyarakat. Artinya ada perubahan, InsyaAllah,” tutur Edo.
- Penulis: Nisrina